HAMKA "AHLI TAFSIR, SASTRAWAN, SEJARAWAN, SUFI, JURNALIS,DAN POLITIKUS" KEBANYAKAN GAK??

 (DISKUSI REGULER BULAN MARET 2011 LAKPESDAM NU SUDAN)

I. PENDAHULUAN

Pembaca, sejak masuknya islam di tanah air tercinta pada permulaan abad ke 6 masehi hingga sekarang perkembangannya terus meningkat, dari mulai kesultanan aceh hingga dakwah walisongo di tanah jawa. Seiring laju zaman, para ulama mempunyai andil besar dalam menyebarluaskan dan menyempurnakan dakwah islam itu di bumi Indonesia. Salah satu dari ulama itu adalah seorang ulama asal Sumatra Barat yang akan kita tampilkan disini, beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh atau yang dikenal dekat dengan akronim HAMKA. Kalau kita mau singkat ke dalam sebuah kalimat singkat adalah " Seorang Ahli Tafsir, Sastrawan, Sufi, Jurnalis dan Aktivis Politik". Dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta Pada 24 Juli 1981.

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

Hamka dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga ulama. Ayahnya Abdul Karim bin Amrulloh atau yang dikenal dengan Haji Rosul adalah seorang ulama saat itu. Kakeknya Tuan Kisa'i adalah salah satu pengikut Thariqat Naqsyabandiyah yang kuat. Kepada mereka berdualah HAMKA belajar untuk pertama kalinya. HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumodari. Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin[1]. HAMKA juga pernah belajar di tanah suci saat beliau melaksanakan Ibadah Haji. Selain itu,  Hamka juga seorang otodidiak yang tekun dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti Tafsir, filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Keluarga, Perantauan dan Semangat membaca. Inilah tiga hal yang penulis fikir menjadi faktor utama dalam pembentukan keilmuan HAMKA yang mendalam. 
 
III. AKTIVITAS HAMKA.

Aktivitas beliau padat sekali, mulai dari menjadi guru hingga ketua MUI tahun 1977. Berikut penulis ringkas berdasarkan urutan tahunnya[2] :

  • 1927 Bekerja sebagai guru agama pada di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
  • 1928, Mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang.
  • 1928 Menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
  • 1929 Bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang.
  • 1931 menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
  • 1932 Menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.
  • 1946 Ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.
  • 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
  • 1949 Ke Jakarta memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim.
  • 1951 hingga tahun 1960 sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia
  • 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah.
  • 1957 Dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiah, Padang Panjang.
  • 1957 meresmikan Universiti Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka atau singkatannya (UHAMKA)
  • 1958 Diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
  • 1958 Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar
  • 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjara oleh Presiden Sukarno kerena dituduh mengadakan rapat untuk membunuh menteri agama H. Syaefuddin Zuhri dan telah melakukan makar untuk menggulingkan Negara dengan dibantu 4 juta dolar oleh perdana menteri Malaysia.
  • 1974 Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia
  • 1977 Prof. Dr. Mukti Ali, Menteri Agama Indonesia melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981.


IV.   PEMIKIRAN HAMKA

Hamka memiliki banyak karangan dan pemikiran, beliau sampaikan baik tulisan-tulisan di berbagai media ataupun yang berbentuk buku dan juga pada setiap kesempatan berpidato. Karangannya yang beliau tulis di berbagai bidang lebih dari 115 buah. Yang tercatat ada sekitar 79. Marilah kita bicarakan sebagian dari pada buku-buku dan pemikirannya :

1.       Tafsir al-Azhar 

Tafsir besar ini beliau susun atas dorongan dan semangatnya untuk berdakwah dan membantu para dai, khususnya anak-anak muda yang mana tidak mampu untuk memahami bahasa arab, tetapi sangat kuat semangat belajar agamanya[3].

1.       Memelihara hubungan antara naql dan aql.
2.       Dalam menukil pendapat ahli tafsir, beliau menggunakan tinjauan dan pengalaman sendiri. Menurutnya penukilan tanpa tinjauan, adalah menjumudkan pemikiran masyarakat. Sehingga al-Azhar termasuk dari kitab tafsir bir Ra'yi. HAMKA mengisyaratkan dan berbicara panjang lebar mengenai hal ini. Lalu beliau mengakhirinya dengan empat syarat untuk menafsirkan al-Quran dengan akal yaitu : Mengetahui Bahasa Arab dengan sebaik-baiknya, Tidak menyalahi dasar-dasar agama yang diterima Nabi, tidak bersikeras dengan aliran atau madzhab tertentu, ahli dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.
3.       Mengenai Isroiliyyat, HAMKA membagi tiga, ada yang sesuai dengan hadist nabi, ada yang dusta dan ada yang tidak berbahaya atau bermanfaat, macam yang ketiga ini beliau sesuai dengan pendapat Ibnu Taimiyah yaitu tidak ditinggalkan dan tidak juga dipercaya.
4.       Pertikaian mazhab fiqh tidak dibawakan dalam tafsirnya.
5.       Madzhab yang dianut beliau adalah sebagaimana beliau istilahkan dalam "Haluan Tafsirnya" yaitu Madzhab Salaf : Madzhab Rosululloh, para Sahabat beliau dan Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau.
6.       Dalam hal 'aqidah dan ibadah beliau taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Namun tidak semata-mata bertaqlid kepada manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti.
7.       Pengaruh Tafsir al-Manar dan Tafsir fi Zilalil Quran Sayyid Qutb terhadap Tafsir al-Azhar ini. Hal ini nampak jelas bahwa selain membahas hal-hal yang berkenaan dengan agama, seperti mengenal Tauhid, Fiqh Hadist dll sebagaimana kedua tafsir tersebut, dipaparkan juga tentang kondisi sosial masyarakat dan perpolitikan yang saat itu terjadi.
8.    Mengenai pembahasan, Tafsir al-Azhar tidak disusun dengan pembahasan yang terlalu tinggi dan mendalam, sehingga yang memahaminya bukan hanya ulama saja, dan juga tidak terlalu rendah sehingga menjemukan.
9.  Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan sebuah disiplin ilmu, maka beliau meminta tolong kepada ahlinya untuk mengetahui bidang tersebut.
10.   Beliau juga memasukkan riwayat Penafsir yang lemah, namun bukan untuk dipercayai, tetapi untuk dijadikan bahan olah dan penilaian fikiran.
11.   Beliau juga mengutip pendapat dari Ahli Tafsir di tanah air seperti Ahmad Hassan, Mahmud Yunus dan Zainuddin Hamidi.

2.       Kritikan HAMKA terhadap Adat Minangkabau.

Barangkali penulis tidak berkeberatan untuk menyatakan bahwa tokoh kita kali ini adalah seorang pembaru agama, khususnya di tanah kelahirannya yaitu minangkabau. Dimana saat itu adat istiadat teramat kuat, diantaranya banyak yang tidak sesuai dengan agama sehingga membuat HAMKA gerah. Kalau kita perhatikan lagi dari buku-buku beliau ada beberapa adat Minangkabau[4] yang menjadi sorotannya yaitu:
  1. Seorang anak akan mengikut suku dan marga ibunya bukan suku dan marga ayah sebagaimana ketentuan Islam.
  2. Tanggung jawab terhadap anak dalam satu keluarga adalah pada  istri, bukan pada suami.
  3. Lelaki yang menikah dengan isteri yang berasal dari luar suku Minangkabau, tidak mendapat tempat disana dan dipandang lebih rendah kedudukannya. 
  4. Harta pusaka diwariskan oleh pihak perempuan saja, yaitu isteri dan anak perempuan. 
  5. Bila terjadi perceraian, suami pergi dari rumah isteri dan tidak boleh membawa  harta bendanya sedikit pun, melainkan hanya pakaian yang dipakai.

HAMKA menulis empat buku yang dengan santun mencoba meluruskan adat ini yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Islam dan Adat Minangkabau , Merantau ke Deli dan Perubahan Adat Minangkabau.


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck 1937.

Adalah karya yang bercerita tentang cinta, yaitu kisah antara dua anak manusia, Zainuddin sebagai anak rantau yang keturunannya telah habis di kampung halamannya dengan Hayati seorang gadis keturunan terhormat. Mereka mengikat satu janji setia. Namun dikarenakan adat istiadat saat itu sangat kental, adalah aib bagi seorang yang berketurunan tinggi untuk menikahi golongan yang lebih rendah dan miskin, meskipun mereka berdua telah jatuh cinta. Hingga akhirnya Hayati dinikahkan dengan Aziz seorang pemuda kaya yang bukan pujaan hatinya dan mengkhianati cintanya kepada Zainuddin. Singkat cerita Zainuddin kecewa lalu pergi mengembara ke Surabaya dan berhasil menjagi seorang penulis novel terkenal.

Melalui novel ini, secara tidak langsung HAMKA mengkritik soal perbedaan status serta keangkuhan keluarga bangsawan jika martabat wanita lebih tinggi daripada lelaki. Bagi HAMKA, tiada perbedaan antara manusia Muslim melainkan ketaqwaan kepada Allah. Didalamnya juga ditekankan tentang pentingnya bermusyawarah dalam segala urusan kemasyarakatan hingga peringkat Negara.

Dibagian akhir cerita, ditekankan pentingnya arti sebuah persahabatan meskipun hati telah dilukai, terbukti dengan ditolongnya Aziz serta istrinya Hayati mantan pacar Zainuddin saat mereka sulit untuk tinggal di kediaman Zainuddin. Ditekankan pula tentang kebersamaan dalam keberagaman tanpa memandang ras, etnis dan keturunan.

Merantau ke Deli 1940

Buku ini bercerita tentang seorang lelaki Minangkabau yaitu Leman yang merantau ke Medan, Deli. Ia menikah dengan seorang perempuan suku Jawa yang bernama Poniem. Meskipun mereka telah hidup bahagia sebagai saudagar di Kota Medan, namun Leman selalu diperingatkan oleh keluarganya agar menikah lagi dengan seorang gadis dari kampungnya sendiri demi menjaga kehormatan keluarga. Karena menurut adat, ia belum dipandang beristeri kalau tidak menikah dengan suku sendiri.

Disebabkan desakan dari pihak keluarga dan orang-orang kampungnya, akhirnya Leman menikah lagi dengan Mariatun, gadis desanya. Namun sejak berpoligami, bisnisnya tidak berjalan dengan baik. Pada mulanya kedua isterinya tinggal pada rumah yang berbeda, namun kemudian dikumpulkan menjadi satu  rumah.

Nah Sejak itulah terjadi  percecokan antara Leman dengan Poniem dan antara Poniem dengan Mariatun. Disebabkan kehidupan rumah tangga yang tidak lagi stabil, akhirnya Leman menceraikan istri pertama, yaitu Poniem. Namun bisnisnya  tidak separti semula jadi dan akhirnya ia bangkut dan menjadi orang yang miskin. 

Hamka dalam dalam buku “Merantau ke Deli” menceritakan bahawa pengaruh adat telah merusak kebahagian rumah tangga Leman dengan Poniem, yang semula jadi sebagai suami isteri yang hidup bahagia. Pesan penting Hamka dalam konteks adat Minangkabau adalah bahawa adat memandang rendah wanita yang dinikahi oleh laki-laki Minangkabau yang berasal dari suku lain. Wanita suku lain –sebagai isteri- tidak mendapat tempat dalam adat minangkabau. Beliau juga mengkritik amalan adat-adat usang yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau seperti campur tangan kaum keluarga yang berlebihan dalam kehidupan berumah tangga sehingga membawa kepada penceraian.

Islam dan Adat Minangkabau 1946

Buku ini merupakan uraian Hamka mengenai seluk-beluk adat Minangkabau baik yang sesuai dengan Islam atau tidak. Didalam bukunya, Hamka mengajak pembaca khususnya masyarkat  Minangkabau untuk memikirkan kearah perubahan adat,  sesuai dengan pepatah  “Adat bersendi Syarak dan dan Syarak Bersendi Kitabullah”. Buku ini terdiri dari enam bagian : Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Adat Minangkabau dan Harta Pusaka, Hubungan Timbal Balik Adat dan Syarak Dalam Kebudayaan Minangkabau, Adat Nan Kawi, Syarak yang Lazim, Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Thaher Jalaluddin serta Muhammadiyah di Minangkabau.

Kritik-kritik beliau ternyata menggelisahkan dan mendapat perlawanan dari pihak ninik mamak[5]. Tentang perlawanan dari  ninik-mamak, Hamka berkata: “Ketika buku ini tersiar nescaya pihak ninik-mamak yang berfaham kolot dengan serta merta menyatakan kemarahannya, malahan ada pula bermaksud hendak menculik penulis kerana dipandang hendak meruntuhkan adat”[6].

Buku “Islam dan Adat Minangkabau” telah mendorong diadakannya Kongres Adat Minangkabau di Bukit Tinggi pada bulan  Mei 1952. Salah satu keputusan kongres adalah bahawa harta pusaka dibagi dua, yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pencaharian wajib dibagai menurut hukum faraidh, separti mana ditentukan oleh Islam[7].

3.       Revolusi Agama 1946

Buku ini juga termasuk buah karya HAMKA, di dalamnya terlihat jelas usaha beliau untuk mempernbaharui islam di tanah air. Buku tersebut berisikan antara lain :

  1.  Menolak taklid yaitu amalan menerima sesuatu ajaran secara buta tuli dan sebaliknya beliau menganjurkan penggunaan akal dalam memahami agama.
  2. Menekankan pentingnya kemerdekaan umat Islam.  Buku ini berbicara tentang kebangkitan kemanusiaan, yang mana pada dasarnya kebangkitan agama ditunjukkan dengan kemerdekaan jiwa dan semangat.
  3.  Yang dimaksud dengan kemerdekaan jiwa dan semangat adalah kemerdekaan dalam amar makruf dan nafi mungkar. Yaitu hak untuk menyatakan pendapat yang baik, dan kemerdekaan dalam mengkritik yang salah. Hasilnya, ia membawa kepada pembinaan pemikiran masyarakat yang baik.
  4. Beliau juga mengaitkan hal ini dengan tahap keimanan seseorang kepada Allah, jika imannya berkurang, maka kita tidak berani untuk bernahi mungkar.


4.       Agama Islam dan Perempuan (1939). Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1974).

Dalam menangani isu berkaitan dengan wanita dalam Islam, HAMKA telah memberikan penjelasan yang bernas mengenai kedudukan wanita dalam Islam melalui karyanya ini. Isu wanita selalu menjadi mainan dan sering disalah tafsir oleh pihak Barat dan orang Islam yang cetek pengetahuannya mengenai Islam. Dalam karyanya itu, beliau telah membela kedudukan wanita sebagai ibu dan menentang penindasan kaum lelaki terhadap wanita, terutamanya di Minangkabau yang terkenal dengan adatnya itu.

Penjelasan yang lain juga beliau bahas dalam bukunya Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1974) yang mana beliau menekankan kemuliaan wanita sebagai ibu, penghormatan dan kasih sayang terhadapnya serta dan hak-hak wanita. Di samping itu, beliau mengkritik kepincangan serta amalan barat dalam hal wanita bermula dengan pandangan yang diberikan oleh kitab Perjanjian Lama sehinggalah ke zaman moden. Di samping dalam mempertahankan kemurnian Islam, beliau juga dapat mengukuhkan keyakinan umat Islam terhadap agamanya.

5.        Ketegasan HAMKA

Dalam memelihara akidah ketegasan beliau dibuktikan melalui Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) saat beliau mengeluarkan fatwa yang Melarang untuk Natalan bersama dan menolak pendapat Menteri Agama. Lantaran itu, pihak pemerintah mengarahkan agar fatwa itu dicabut. Namun, HAMKA tidak melakukannya, beliau memilih untuk mengundurkan diri sebagai Ketua MUI.

6.       Media Massa

HAMKA menggunakan media massa sebagai sarana dakwahnya. Ini menandakan bahwa beliau mengerti benar akan pentingnya media dalam menggolkan suatu hal. Sejak muda beliau telah  memilih media massa untuk keperluan memyampaikan dakwahnya. Di tahun 1928 Menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat dan  Menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar tahun 1932.

Diantara majalah yang beliau terbitkan adalah Majalah Pedoman Masyarakat dan Majalah Panji Masyarakat atau yang lebih popular dengan nama Panjimas, majalah ini terbit di Jakarta pada 15 Juni 1959 yang  diprakarsai oleh K.H. Mohammad Fakih Usman  sebagai Pimpinan Umum, Hamka dan Yusuf Abdullah Puar sebagai Pemimpin redaksi dan M. Yoesoef Ahmad sebagai Pemimpin Usaha. Misi majalah ini adalah untuk “Penyebaran Ilmu selaras dengan perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”.[8]

Selain majalah, beliau juga aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai tempat seperti mesjid, RRI saat itu ataupun di kaset-kaset seperti ceramah-ceramah beliau tentang Kajian Tasawuf dan Tafsir al-Quran.

V.    PENUTUP

Membaca karangan-karangan HAMKA baik novel, Tafsir ataupun lainnya serasa tidak ada bosan-bosannya, selain padat dan tersusun rapih, aroma sastranya pun sangat kental, sehingga bahasa yang beliau gunakan tidak terlalu bertele-tele yang membuat pembaca pusing, atau kelewat lebay yang membuat suasana menjadi bosan. Dilihat dari apa yang beliau tinggalkan baik dari perjuangannya, buku-bukunya, aktivitasnya, rekaman-rekaman ceramahnya begitu juga oraganisasi politik social yang beliau jabat, kita akan berkesimpulan bahwa beliau adalah seorang ulama revolusioner yang serba bisa atau yang biasa diistilahkan orang sekarang dengan "all round". Selain itu tidak berlebihan juga kiranya kalau kita katakan disini bahwa beliau adalah salah satu daripda tiang penyangga bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang, bahkan negeri tetangga-pun ikut belajar dari sosok ulama Indonesia ini. Semoga dapat bermanfaat.

*Disampaikan pada acara Diskusi Reguler bulan Maret 2011 LAKPESDAM NU Sudan.



[1]  Haji Abdul Malik Karim Amrullah. www.id.wikipedia.org
[2]  Dikumpulkan dari berbagai sumber.
[3]  HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz I hal. 4.
[4]  Drs. H. Abdullah, M.S, Pemikiran dan Perjuangan Dakwah Hamka  dan  Kesanya Terhadap Islam  di Kawasan Serantau. Hal 13
[5]  Para penghulu dan pembesar-pembesar adat, istilahnya orang-orang tua.
[6]  HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau. Hal. 5.
[7]  Drs. H. Abdullah, M.S, Pemikiran dan Perjuangan Dakwah Hamka  dan  Kesanya Terhadap Islam  di Kawasan Serantau. Hal. 14
[8]  Rusydi Hamka, Islam dan Era Informasi, Jakarta: Pustaka Panjimas, hal. 264.

0 komentar:

Copyright © 2012 Malin Renceh.