syech Abdul karim Amarullah (ayah buya Hamka) untuk memposisikan kedudukan HPT menjadi wakaf
Gani Limsa
Kalau kita analisa, pemilik
HPT itu pada awalnya adalah Harta personal. Hal ini bisa kita lihat merujuk ke
kaum itu sendiri. Jika dirujuk ranji kaum itu ke atas, maka pada akhirnya hanya
terdapat satu nama dalam ranji kaum itu.
Tetapi karena dari awal tidak
dilakukannya sistim hukum waris Islam terhadap harta personal itu, maka
timbullah penumpukan pemilik hak warisnya turun temurun sampai beberapa
generasi ke bawahnya sehingga membentuk suatu kelompok Kaum. Dan akhirnya
muncullah istilah bahwa harta itu adalah harta kaum. Atau mereka menyebutnya
HPT Pemiliknya adalah komunal.
HPT muncul akibat dari tidak
dilakukannya hukum Waris Islam sejak awal eksistensi harta itu. Dan konsensus
Adat menetapkan dalam hukum adat bahwa harta itu hanya turun temurun kepada
pihak perempuan dari garis ibu. Nah jika kita merujuk kepada ketentuan Hukum
Islam tentu hal ini berseberangan. Sebab adanya hak-hak anggota kaum lainnya yg
dipaksa atau terpaksa harus tunduk kepada ketentuan Hukum adat, ia harus patuh
dan taat hak-haknya diserahkan kepada pihak perempuan dalam kaum itu tampa
melalui sistim dan mekanisme yang jelas secara syar'i.
Ada yg berkata
"bagaimana jika kaum laki-laki dalam anggota kaum itu ikhlas
menyerahkannya ? Pertanyaannya apakah standar acuan yg kita jadikan dan
menjamin ia ikhlas ? Sehingga penyerahan waris turun temurun kepada pihak
perempuan itu memiliki kekuatan yg sah ? Tentu hal ini lemah jika kita tidak
dapat menjaminnya.
Atau ada yg berkata
"diam dan kami tidak mempersoalannya, bukankah ini tidak dapat disebut
bukti ikhlasnya kami ?
Jawab : Pertanyaannya, Apakah
menjalankan sesuatu diluar ketentuan Allah dengan ikhlas dapat disebut ikhlas ?
Bukankah amal itu diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan ittiba'
(ittiba'=sesuai sunnah)
Kembali ke soal HPT. Bisa
jadi sebagian orang beranggapan bahwa sistim hukum adat yg mewariskan HPT hy
kepada kelompok wanita saja dari harta kaum itu sebagai bentuk perampasan paksa
atas hak-hak laki-laki dalam anggota kaum itu. Ia dipaksa atau terpaksa tunduk
dan taat atas konsensus yg sudah di sepakati bersama menjadi ketentuan adat dan
hukum adat. Dalam Islam tentu hal ini menjadi pertanyaan, apakah konsensus yg
menjadi ketentuan adat dan hukum adat itu sudah benar menurut ketentuan Hukum
Islam ?
Sebagai orang yg beragama
Islam tentu kita merujuknya kepada Al-Islam sebab itulah sumber pedoman kita
tertinggi. Apalagi kita menyebut diri (slogan orang MK) "SYARA' MANGATO
ADAT MAMAKAI". (Syariat Islam menetapkan Adat melaksanakan) Maka tentulah
harus dan wajib bagi kita Al-Islam yg menjadi acuan mutlak dalam mendudukan
perkara ini. Jika orang minangkabau komitmen dan konsisten dengan slogannya
"syara' mangato adat mamakai", Adat berdasarkan syariat Islam yg
bersumber kepada Al-qur'an (ABSSBK) tentulah semestinya aturan dan Hukum adat
itu gugur dengan sendirinya dan dan beralih total kepada kaidah Hukum Islam.
Bukankah begitu konsekwensi logisnya "SYARA' MANGATO ADAT MAMAKAI ?"
Kecuali jika kaum adat minangkabau mengingkari dan mengkhianati slogannya
sendiri.
Bagaimana meng-Islamisasi HPT
ke dlm Hukum Islam saat ini ?
Jawabannya hanya ada 2 jalan
:
1. Harta milik kaum itu
dibagi kepada seluruh anggota pemilik Hak dalam kaum itu. Kemudian kepemilikan
itu menjadi milik pribadinya dan untuk generasi masing-masing berikutnya
berlaku hukum faridh (Hukum waris Islam)
2. Menjalankan isyarat
(sinyal) yg disampaikan syech Abdul karim Amarullah (ayah buya Hamka) untuk
memposisikan kedudukan HPT menjadi wakaf. dengan jalan unsur syarat, ketentuan
dan rukun-rukun wakaf harus dipenuhi dalam HPT itu. Pertanyaannya sudahkah
syarat, ketentuan dan rukun wakaf terpenuhi dalam HPT itu ? Jika HPT ingin kita
kategori sebagai wakaf. Oleh sebab itu jika HPT ingin kita dudukan menjadi
harta Wakaf, maka penuhilah syarat, ketentuan dan rukun wakaf dalam HPT itu.
Jika itu sudah dipenuhi dan dilaksanakan, selesailah persoalan kedudukan HPT
ini menurut syar'i.
Demikian, terima kasih.
0 komentar: